Ketika Anak (-anak) Tidak Masuk Sekolah


Aku memulai pelajaran hari ini dengan mengingat kembali pelajaran yang minggu lalu sudah di ajarkan. Syukurnya, mereka sudah bisa menjawab dengan baik, meskipun minggu lalu mereka sangat sulit untuk memahaminya. Sepertinya mereka belajar di rumah saat aku berikan pekerjaan rumah. Enny sangat terlihat kemampuannya untuk mengerti pelajaran Matematika dengan cepat. Iluh dan Muksin berada di peringkat yang lebih bawah. Aku lihat sikap Iluh juga bisa lebih terkontrol. Sebelumnya, Iluh adalah anak yang sangat sulit untuk fokus. Matanya selalu bisa menangkap hal baru untuk diperhatikan. Sekarang, meskipun hanya sebentar saja, dia sudah bisa menatap mataku saat berbicara.

Ada anak kelas empat yang baru datang. Suharti namanya. Seminggu kemarin dia tidak hadir. Dia yang belum mengenal aku. Dia masih takut sekali menatap wajahku. Aku minta perhatiannya ketika aku mengajak berbicara. Dia masih selalu menghadap ke bukunya, Memegang bukunya tanpa tujuan,lalu memegang pensil. Aku bingung. Aku minta dia mengangkat tangannya. Satu jari aku minta ditunjukkan. Lalu dua jari, sampai lima jari. Ketika di jari ke lima, pensilnya dia pindahkan ke tangan yang kiri. Aku ulangi hal itu ditangan kirinya, sampai akhirnya dia letakkan pinsilnya di meja. Setelah dia tidak memegang apapun dan aku mendapat perhatiannya, aku jelaskan padanya untuk tidak memberikan perhatian pada hal lain, seperti pinsil, buku atau apapun ketika berbicara denganku. Dia mengangguk sambil tersenyum. Suharti menjelaskan bahwa dia tidak masuk karena menjenguk neneknya yang sakit di Lombok. Di sini perkara menjenguk orang sakit saja bisa membuat anak tidak masuk seminggu lamanya. Maklum, bukan jarak dekat kawan,antara Lombok dengan Tambora.

Disini alasan anak-anak tidak masuk sekolah bukan malas atau (pura-pura) sakit. Disini alasannya adalah mengantar ibu dengan motor untuk pergi ke Desa lain, seperti Ardi saat minggu lalu. Mengantar ibu ke Desa yang jaraknya satu jam perjalanan. Tidak ada orang lain yang bisa diandalkan. Ayahnya sudah tua renta, itupun pasti pergi ke kebun. Ardi menjadi andalan orang tuanya. Selesai mengantarkan ibunya, meskipun sudah pukul 10 dia tetap masuk sekolah. Aku biarkan saja dia masuk terlambat. Aku cukup terpuaskan dengan keinginannya tetap belajar.

Pernah suatu hari, Eny tidak masuk. Alasannya adalah bantu Ibu petik kopi. Musim-musim panen kopi seperti ini, pasti akan banyak yang punya alasan seperti ini. Petik kopi, borongan. Istilah untuk sistem kerja upah untuk yang bisa memetik kopi satu karung. Petik satu karung kopi di upah 20 ribu. Dan anak-anak di desa ini sering pergi membantu orang tuanya petik kopi.

Juga Sudirman. Anak kelas tiga yang sangat “aktif” ini juga hari ini tidak masuk. Aku bertemu dengannya saat ada acara hajatan tadi. Aku panggil dia. Dia menolak. Malu dan takut aku tanya alasannya tidak masuk sekolah. Setelah beberapa kali aku panggil, dia datang. Aku tanya alasannya tidak masuk, dia menjawab, “Jaga adik Pak Guru.” Hufft. Masih bisakah aku kritisi hal ini? Saat aku tanya, orang tuanya semua pergi petik kopi. Adiknya yang masih umur tiga tahun harus ada yang menjaganya. Tidak ada yang lain. Sudirman lah orangnya. Kakak-kakaknya yang lebih tua sudah pasti ikut petik kopi. Tinggal Sudirman yang jadi andalan menjaga adiknya.

Hufft. Anak-anak kesayanganku. Aku berjanji dalam hati untuk selalu semangat dan serius mengajarkan kalian. Aku ingin kalian mendapatkan yang terbaik, di tengah segala kondisi yang ada di kehidupan kalian. Sekecil apapun, sesederhana apapun, akan aku usahakan yang terbaik. Aku akan buat kalian bangga dengan kondisi kalian ini. Aku akan tanamkan, Aku Bangga menjadi anak Tambora.

 

 

17 Juli 2012, Tambora.

Leave a comment